Selamat Datang di MasUn_Bio-PharmaTecholic

Proudly Presented by Mochamad Untung Kurnia Agung

Rabu, 28 April 2010

Potensi Bakteri Simbion Luminisensi Photobacterium phosphoreum sebagai produsen antibiotik alam



Bakteri simbion merupakan komunitas bakteri yang hidup berasosiasi dengan biota lain (inang) dan melakukan berbagai macam pola hubungan sesuai dengan karakteristik dasar interaksinya. Beberapa penelitian telah membuktikan adanya interaksi spesifik antara simbion dan inang, termasuk transfer prekusor nutrient yang memberi peluang adanya kesamaan potensi produk metabolit sekunder di antara keduanya. Bakteri Photobacterium phosphoreum merupakan bakteri yang bersimbiosis pada organ cahaya cumi-cumi Loligo duvauceli.

Bakteri Photobacterium phosphoreum dilaporkan memiliki aktivitas bioluminisensi (Pringgenies dan Jorgensen, 1994; Papilaya dan Ngili, 2004). Bioluminisensi diartikan sebagai produksi cahaya oleh organisme hidup (Nybakken, 1992). Pemancaran cahaya yang dilakukan sangat menguntungkan organisme tersebut karena berguna untuk mencari makan, menghindari musuh, mengenali spesiesnya atau untuk komunikasi, serta untuk aktivitas kamuflase (Papilaya dan Ngili, 2004). Bioluminisensi merupakan sumber cahaya yang penting di ekosistem laut dalam. Salah satu keunikan bioluminisensi adalah cahaya yang dipendarkan pada proses ini dihasilkan dari radiasi panas yang sangat rendah (http://www.dio.davidson.edu/course/anphys/1999/cody/definition.htm). Bakteri Photobacterium phosphoreum memancarkan cahaya yang memungkinkan terlihat dengan kasat mata karena berada di sekitar panjang gelombang 460-490 nm (visible spectrum) (Papilaya dan Ngili, 2004).

Sebagai makhluk hidup yang menempati enam puluh persen biomassa di planet ini, mikroba juga merupakan maestro yang menjadi sumber antibiotik dan obat-obatan potensial lainnya yang sangat berguna bagi eksistensi kehidupan manusia (Helianti, 2005). Di dalam mikroorganisme terkandung senyawa kimia hasil metabolisme yang digunakan untuk mempertahankan eksistensinya di alam. Senyawa tersebut dikenal sebagai metabolit sekunder (Concepcion et al., 1994). Metabolit sekunder tersebut dapat berpotensi sebagai antikanker, antivirus, antibakteri, antioksidan, antijamur, dan atau antiplasmodium (Sudiro, 1998). Bradley (1999) menambahkan bahwa mikroorganisme yang hidup berasosiasi dengan invertebrata laut mampu menghasilkan suatu senyawa yang serupa dengan senyawa yang dihasilkan oleh invertebrata laut tersebut dan kemungkinan berpotensi sebagai antibiotik.

Seperti yang telah dilaporkan oleh Edward dan Murugan (2000) bahwa cumi-cumi Loligo duvauceli diketahui mampu menghasilkan metabolit sekunder yang berpotensi sebagai bahan antibakteri, sehingga tidak menutup kemungkinan bakteri Photobacterium phosphoreum yang bersimbiosis pada organ cahayanya juga menghasilkan metabolit sekunder yang potensial sebagai bahan antibakteri.

Penelusuran telah dilakukan oleh Agung (2005) yang melakukan uji prospeksi ekstrak kloroform metabolit sekunder yang diisolasi dari bakteri Photobacterium phosphoreum yang bersimbiosis pada organ cahaya cumi-cumi Loligo duvauceli terhadap bakteri patogen Bacillus sp, Staphylococcus aureus, Vibrio harveyi dan Escherichia coli.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk uji ekstrak kasar, diameter zona hambatan terbesar diperoleh pada uji terhadap bakteri Staphylococcus aureus pada konsentrasi 10 μg/mL pada pengamatan waktu inkubasi 24 jam yaitu sebesar (8,93  0,04) mm, sedangkan diameter rata-rata zona hambatan yang terkecil diperoleh dari uji terhadap bakteri Vibrio harveyi pada konsentrasi 1 μg/mL pada pengamatan waktu inkubasi 48 jam yaitu sebesar (8,25  0,04) mm. Dari 6 fraksi gabungan (FC) hasil fraksinasi ekstrak kasar, diketahui bahwa fraksi gabungan ke-3 (FC-3) merupakan fraksi yang paling aktif menghambat pertumbuhan keempat bakteri uji dengan diameter zona hambatan terbesar diperoleh pada uji terhadap bakteri Staphylococcus aureus pada pengamatan waktu inkubasi 24 jam yaitu sebesar (9,57  0,10) mm. Selanjutnya, dari 4 fraksi gabungan hasil fraksinasi lanjutan FC-3, diketahui bahwa fraksi gabungan ke-2 (FC-3.2) adalah fraksi yang paling aktif menghambat pertumbuhan keempat bakteri uji dengan diameter zona hambatan terbesar juga diperoleh pada uji terhadap bakteri Staphylococcus aureus pada pengamatan waktu inkubasi 24 jam yaitu sebesar (11,11  0,02) mm.

Daftar Acuan :

Agung, M.U.K. 2005. Isolasi Fraksi Gabungan Aktif Agen Antibakteri Dari Ekstrak Kloroform Bakteri Photobacterium phosphoreum Yang Bersimbiosis Pada Organ Cahaya Cumi-Cumi Loligo duvauceli. Prosiding Seminar Nasional "Moluska dalam Penelitian, Konservasi, dan Ekonomi". BRKP - Jurusan Ilmu Kelautan FPIK Universitas Diponegoro. Semarang.

Bradley, S.M. 1999. Biosynthesis of Marine Natural Product : Microorganisms and Macroalgae. University of Washington. Seattle, USA. 143 pp.

Concepcion, G.P., Caraan, G.B. and Lazaro, J.E., 1994. Biological Assays for Screening of Marine Samples. Workbook Strategies in The Quest for Natural Bioactive Compound from The Sea. Marine Science Institute, University of The Philippines. 52 pp.

Edward, J.K. Patterson and Murugan, A. 2000. Screening of Cephalopods for Bioactivity. Phuket Marine Biological Center Special Publication. 21 : 253-256

Helianti, Is. 2005. Metagenomik, Era Baru Bioteknologi. Harian Kompas, Senin 6 Juni 2005

Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis. PT Pustaka Utama Gramedia. Jakarta

Papilaya, E. dan Ngili, Y. 2004. Mengenal Organisme Bioluminesensi Laut Indonesia. www.cakrawala.co.id/iptek.htm (Tanggal pengambilan 28 Juni 2005)

Pringgenies, D. and Jorgensen, J.M. 1994. Morphology of The Luminous Organ of The Squid Loligo duvauceli d’Orbigny 1839. Acta Zoologica. 4 : 305-309

Sudiro, I. 1998. Produk Alam Hayati Laut dan Prospek Pemanfaatannya di Bidang Kesehatan dan Kosmetika dalam Soemadihardjo et al., (Ed.). Prosiding Seminar Bioteknologi Kelautan Indonesia I. LIPI. Jakarta